Apresiasi Semarak, Kritik Sastra Senyap
KEHIDUPAN sastra nasional dan daerah di Bali terus berlanjut sejak
dulu. Banyak karya diciptakan, dibaca, dipentaskan dalam bentuk seni
pertunjukan seperti sendratari dan wayang, atau ditransformasi dalam
bentuk seni rupa atau seni ukir di tembok-tembok. Ada juga novel
disajikan lewat film atau sinetron.
Apresiasi sastra berlangsung di masyarakat ketika ada kegiatan ritual,
atau di radio dan televisi lewat kidung interaktif, dagang gantal, atau
gita shanti. Fakta-fakta ini mengindikasikan kreativitas dan apresiasi
seni sastra di Bali berjalan semarak, tetapi ada satu hal yang kurang
yaitu absennya kegiatan kritik sastra. Isi dan pesan karya banyak
disimak tetapi tidak pernah dikritik sebagai karya sastra. Tulisan
kritik sastra jarang dibuat.
Yang dimaksud dengan apresiasi adalah pembacaan atau penikmatan sastra.
Pembicaraan isi secara verbal juga termasuk di dalam apresiasi.
Sedangkan kritik sastra meliputi kajian atau ulasan secara menyeluruh
atas sebuah/sejumlah karya. Tulisan tentang sejarah sastra dan kajian
atas fenomena sastra juga termasuk di dalamnya.
Sangat Dinamis
Sesudah kemerdekaan, perkembangan sastra Indonesia sangat dinamis
seperti bisa diikuti lewat puisi dan cerpen yang dimuat di majalah
Bhakti dan Damai serta Mingguan Harapan. Penulis Windhya Wirawan, Putu
Shanti, dan Made Kirtya, dan Tjok Rai Sudharta banyak berkarya tahun
1950-an. Tahun 1960-an, geliat itu kian ramai akibat serunya
perseteruan antara seniman yang pro-partai politik PNI dan PKI, atau
antara LKN dan Lekra, sayap kanan dan sayap kiri. Koran Suara
Indonesia, Suluh Indonesia, atau Suluh Marhaen (nama lama Bali Post)
banyak memuat puisi dan cerpen.
Zaman Orde Baru kehidupan sastra berjalan terus, ditandai dengan
publikasi karya di surat kabar dan majalah, apresiasi sastra, lomba
baca puisi, pentas drama, dan sebagainya. Ada juga teks yang diangkat
menjadi sinetron seperti "Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar"
karya Nyoman Rastha Sindhu. Cerpen ini keluar sebagai cerpen terbaik
Horison tahun 1969, menorehkan sebuah prestasi nasional penulis Bali.
Media massa memainkan peran sangat besar karena membuka diri untuk
mempublikasikan puisi, cerpen, novel atau naskah drama. Sastrawan Bali
seperti Oka Rusmini dan Aryantha Soethama berjaya di tingkat nasional.
Antologi cerpen Aryantha Soethama berjudul "Mandi Api" berhasil
menyabet gelar prestisius Khatulistiwa Literary Award tahun 2006.
Sementara itu, sejumlah penyair Bali diundang ke forum baca puisi
internasional sampai ke Den Haag, Jerman, atau Paris seperti Warih
Wisatsana, Oka Rusmini, Tan Lioe Ie.
Namun, di tengah dinamika kehidupan sastra Indonesia di Bali, yang
sangat terasa kurang adalah kegiatan kritik sastra. Apresiasi berjalan
baik tetapi kritik sastra hanya satu-dua bahkan nyaris kosong
melompong. Kecuali sedikit ulasan berupa resensi buku di koran, kritik
sejati sungguh sepi.
Kalau mencari siapakah kritikus sastra Indonesia di Bali, kita mungkin
hanya menemukan satu-dua nama seperti almarhum I Made Sukada (dosen
Fakultas Sastra Unud) dan I Nyoman Tusthi Eddy (seorang guru SMA di
Karangasem). Mereka menulis ulasan sastra di koran, menulis makalah dan
menerbitkan buku, itu pun tidak banyak, tidak berpengaruh.
Tanpa kritik sastra memang bisa maju, tetapi dengan kritik kontribusi
sastra untuk kehidupan kebudayaan dan pengetahuan humaniora bisa kian
lengkap. Sastra tanpa kritik seperti api unggun tanpa angin, tak
membara dan tak memberi hangat optimal.
Sastra Bali
Kehidupan sastra Bali tradisional dan sastra Bali modern juga
menghadapi kenyataan langkanya kritik sastra. Ulusan sastra umumnya
ditulis untuk skripsi atau thesis atau desertasi, di luar itu nyaris
tidak ada. Karya sastra tradisional seperti kakawin, kidung, gaguritan
banyak dibaca dalam mabebasan, gita shanti, kidung interaktif, di pura,
di banjar, di radio, di televisi, tetapi itu semua sebatas apresiasi
sastra, yakni mengungkap atau menikmati nilai yang terkandung dalam
teks.
Menjamurnya sekaa shanti di seluruh pelosok kota dan desa di Bali
membuat apresiasi sastra ttradisional semarak sekali. Di Bali dewasa
ini ada sekitar 1430 desa pakraman, jika diasumsikan tiap desa ada 10
banjar dan setiap banjar ada satu sekaa shanti, maka ada seka shanti di
sekitar 14.300. Atau, kalau sekaa shanti di kantor swasta, kantor
pemerintah, bank, sekolah, kampus, hotel, dihitung, maka jumlah sekaa
shanti di Bali bisa mencapai 15.000. Sekaa ini merupakan pilar
apresiasi sastra Bali.
Namun, studi atau kajian atau ulasan tentang sastra Bali tradisional
sepi sekali. Analisis karya dalam bentuk tulisan kritik atau esai bisa
dikatakan kosong. Sastra Bali modern pertama muncul tahun 1910-an
berupa cerita pendek yang ditulis Made Pasek (seorang guru dari
Singaraja) dan Mas Nitisastro (seorang guru di Bali Utara). Dalam
sepuluh tahun terakhir, banyak sekali terbit karya sastra Bali modern,
tetapi ulasan terhadap karya yang muncul nyaris tidak ada.
Dalam sejarahnya yang relatif panjang, dunia sastra Bali modern baru
memiliki dua-tiga buku tentang objek ini antara lain karya "Mengenal
Sastra Bali Modern" (1991) karya Tusthi Eddy dan "Tonggak Baru Sastra
Bali Modern" (2000) karya Darma Putra. Namun, masih banyak mutiara
terpendam dalam sastra Bali modern yang belum tergali, yang perlu
ditambang, atau didulang untuk mendapatkan emas-emas nasihat.
Kalau apresiasi sastra diumpamakan kepompong dan kritik sastra ibarat
kupu-kupu, maka dalam kehidupan sastra kepompong jarang sekali yang
berubah menjadi kupu-kupu. Apresiasi riuh rendah tetapi kritik sastra
sepi-jampi.
Mengapa Senyap?
Mengapa kritik sastra tidak sesemarak penciptaan dan apresiasi sastra?
Sunyi senyapnya kritik sastra di Bali atau di Indonesia secara umum
karena kehidupan sosial budaya kita berdasarkan sistem budaya Timur
yang mengutamakan harmoni dan kerukunan. Tradisi ini kurang kondusif
dalam menumbuhkan sikap kritis. Menilai orang lain, apalagi mencela
atau mengkritik, adalah hal yang dihindari karena bisa mengganggu
kerukunan. Kritik diberikan konotasi negatif.
Dalam budaya Bali terkenal ungkapan "eda ngaden awak bisa, depang anake
ngadanin" (jangan menganggap diri bisa, biar orang menilai), sepintas
terasa mendorong sikap menilai, tetapi sebetulnya jelas bermakna
menyuruh kita diam, tidak banyak bicara, apalagi mengkritik. Ada karya
yang merangsang sikap kritis, yaitu Gaguritan Bungkling, yang berisi
pikiran kritis terhadap adat dan sistem nilai Bali, tetapi karya
seperti ini sedikit sekali jumlahnya alias perkecualian.
Perubahan sosial politik Indonesia dewasa ini yang ditandai dengan
kebebasan berekspresi seharusnya mulai menumbuhkan tradisi kritik
sastra atau seni yang kuat. Hal ini belum menampakkan hasil
menggembirakan buktinya aktivitas kritik sastra masih nyanyi sunyi.
Masalahnya mungkin, seperti pernah disampaikan Budi Darma, karena
masyarakat kita kurang berfikir analitik, artikulatif, kurang
argumentatif, dan kurang formulatif. Kerja kritik sangat membutuhkan
sikap analitik, argumentatif, artikulatif dan formulatif.
Bakat menjadi kritikus bisa diasah dengan mulai rajin membaca karya
sastra, mengumpulkan dan mengolah informasi, memulai dengan memetakan
persoalan dan memformulasikan pemikiran atas materi yang ada atau karya
yang dibaca. Kerja kritik memerlukan teori, itu sudah jelas. Namun,
perspektif keliru tentang teori banyak membuat orang enggan menulis
kritik sastra, padahal teori tidak mesti berupa sesuatu yang canggih,
kompleks, abstrak, asing seperti yang umumnya datang dari dunia
pemikiran Barat.
Pemakaian teori dalam analisis seni bisa dimulai dengan pendekatan
sederhana tetapi ampuh, seperti komparatif, misalnya dengan
mengungkapkan persamaan dan perbedaan beberapa teks atau aspek dari
beberapa teks yang potensial untuk itu. Patut juga dibiasakan
memformulasikan pikiran dengan pola analisis induktif (khusus ke umum)
atau deduktif (umum ke khusus). Tantangan kehidupan sastra di Bali
adalah mengubah tradisi apresiasi yang kuat menjadi tradisi kritik
produktif sehingga kehidupan sastra tidak saja semarak tetapi kian
bernilai-guna untuk dunia seni itu sendiri dan ilmu pengetahuan
humaniora lainnya.
Kalau penulis diumpamakan api unggun, kritikus adalah angin, yang
berhembus setia bukan untuk membunuh api unggun tetapi membuat unggun
tetap membara, tetap memberikan semangat kreativitas. Era baru
pascareformasi ini, di mana kebebasan berekspresi hampir-hampir tanpa
batas, tidak ditekan seperti era Orde Baru, semestinya memberikan iklim
baru tumbuhnya sikap kritis dan juga kritik sastra. Semoga!
Latest News
Complete SEO for blogs and sitesComplete SEO for blogs and sites
3 Free Traffic Methods Get many Visitors for your website
3 Free Traffic Methods Get many Visitors for your website
Open Source Web Content Management Systems
Open Source Web Content Management Systems
Importance of SEO in Web Rankings
Importance of SEO in Web Rankings
Write a comment